About

Selasa, 08 Maret 2016

My First Post, My First Short Story!

Hallo! My name is Nadia and welcome to my new blog (yasss im newbie:3). This is my very first post. Tbh, i don't know what thing that i should post here. But, yea, i want to share my first short story entitled "Terlanjur Dingin". Sorry if the story isn't good enough, because i don't have even passion in writing!! Wkwk. So, enjoy it! Don't forget to share yaaaa. Wait for my next post <3
Terlanjur Dingin
Ia kembali terduduk di atas ranjangnya. Suara yang sudah menjadi ‘makanan pokok’ gadis berusia 14 tahun itu mungkin terdengar sampai rumah tetangganya. Bagaimana tidak, ayah dan ibunya selalu beragumentasi tentang siapa yang salah dan siapa yang benar. Tak memperdulikan kedua anaknya yang sedari tadi mendengarkan dan merekam kata demi kata kasar di dalam ingatan mereka.
Rani adalah anak yang sangat periang dan semua temannya tau itu. Disekolah ia tidak pernah menunjukan wajah tak ceria. Gadis yang pandai bergaul ini juga selalu mendapat peringkat satu parallel di sekolahnya. Akhir-akhir ini, kedua orangtua Rani tidak akur. Selalu berbeda pendapat, dan mirisnya ia selalu menjadi mediator ayah ibunya tentang siapa yang menafkahi Rani dan Kintan kakaknya.
Tak ada yang tau. Dibalik keceriaannya, ada sakit yang harus disembunyikan. Ada lara yang harus ditanggungnya sendirian.
***
            “Ran, kakak pergi dulu ya” “Iya kakin. Hati-hati ya.” Jawab Rani sambil mengantar kakak satu-satunya keluar rumah menuju mobil Jazz warna merah itu.”Hai Kak Dhino.” Tangan mungil Rani melambai kea rah Dhino, dibalas dengan senyum ramah Dhino. Dalam sekejap, mobilnya sudah lenyap dari hadapan Rani.
 Wanita –yang mempunyai panggilan akrab Kakin-  yang terpaut 10 tahun dari Rani  memang sudah lama berpacaran dengan Dhino, teman kuliahnya dengan jurusan yang sama yaitu DKV (Desain Komunikasi Visual). Pantas saja Kintan pergi dengan Dhino. Malam ini adalah malam minggu. Mungkin sudah menjadi rutinitas mereka berdua, Candle Light Dinner di rooftop salah satu apartement di kota ini. Dhino sudah mempersiapkan semuanya, mulai dari booking tempat sampai apa saja yang dipesan. Dhino hafal detail-detail makanan yang disukai Kintan. Mereka sudah berencana akan bertunangan 3 bulan lagi.
            “Makan roti lagi, Pa?” Tanya Rani kepada ayahnya ketika ia mulai bosan melihat roti diatas meja makan beberapa malam terakhir. Ini semua karena ibunya yang selalu pulang malam yang entah pergi kemana, tak pernah jelas. “Sabar ya, Nak. Sampai pagi kita kelaparan juga ibumu tidak akan pulang.” Jawabnya sinis. Ayahnya sudah geram karena tingkah ibunya yang semakin hari semakin kejam.
            Rani kembali ke kamar tanpa berkata apapun. Ia memandangi foto keluarganya 3 tahun lalu. Lengkap. Ceria. Dan penuh kasih sayang. Namun waktu berlalu, merubah kehangatan keluarga itu. Tanpa disadari, airmatanya membasahi kaca figura potret kemesraan mereka. Rani tampak pasrah tak bertenaga. Hari hari yang berlalu tidak seperti dulu.
            Keluarganya dulu tenang tak bermasalah dan selalu harmonis. Tapi semua berubah saat ayahnya turun pangkat dari kantor. Ibunya mendadak down karena perubahan ekonomi keluarga yang kian menurun. Ibunya lebih sering keluar daripada di rumah.
***
            “Darimana saja kamu semalam? Istri kurang ajar. Apa kamu tidak memikirkan anak anak mu? Mereka tidak makan tadi malam. Aku sudah bersusah payah bekerja, tapi kamu menghambur-hamburkan uang dengan cara tidak jelas seperti itu.”
            Bentakan ayahnya seolah menjadi alarm Rani untuk bangun pagi. “Hmmmm, berantem lagi. Sudah kuduga akan seperti ini.” Ia bergumam selagi membereskan kasur dan menuju kamar mandi.
            Setengah jam kemudian, Rani menuruni tangga kebawah menuju meja makan. Masih sama. “Eheemmmmmmm” Rani memecah suasana tegang. Kedua orangtuanya yang saling caci maki berubah seolah tak ada yang terjadi. Tapi semua itu drama. Palsu. “Aku muak dengan semua ini. Sudahlah. Masih beruntung aku tidak depresi karena kalian.” Digebraknya meja sambil keluar rumah, tanpa berkata apapun ia berangkat kesekolah. Kejadian seperti ini membuat Rani tidak fokus mengikuti pelajaran.
            Rani menjadi anak pemurung dan gampang tersulut emosi. Bahkan guru matematika Rani –Pak Arga- pernah memergokinya melamun saat pelajaran berlangsung. Rani sudah berubah, tidak seperti Rani yang dulu.  
***
            “Anak bapak mengalami penurunan drastis sebulan belakangan. Ada masalah apa sebenarnya, Pak?” Ayah Rani diam membisu mendengar kata guru wali kelas Rani. Ia tak mempercayainya, sekaligus merasa bersalah. Ini semua disebabkan kedua orang tuanya sendiri. Yang hampir setiap hari selalu bertengkar, tak pernah ada ujungnya.
            Ayah Rani pulang kerumah dengan sejuta perasaan. Ia tak menyangka, Rani benar-benar depresi. Rani lebih banyak menghabiskan waktu di kamar. Matanya selalu sembab, rambutnya acak acakan, dan terlihat lebih kurus. Melihat hal ini Kintan selalu memaksa Rani untuk membuka pintu kamarnya. Namun hasilnya nihil, Rani tak mau membuka pintunya untuk siapapun. Bahkan Kintan. Kintan mencurahkan semua ini kepada Ibunya. Ibunya cuek, mendengarkannya pun seolah Rani bukan siapa-siapanya. Miris.
***
            Usaha Kintan akhirnya membuahkan hasil. Hari ini Rani berangkat sekolah. Pemandangan yang jarang terjadi pagi ini. Ayah, ibu, serta Kintan dan Rani duduk bersama di ruang makan. Tapi tetap saja berbeda. Ibunya yang sibuk mengoleskan bedak tabur kewajahnya. Sementara ayahnya fokus membaca koran. Hening, tidak ada percakapan antara mereka berempat. Rani mengoleskan selai coklat ke roti tawarnya. Yang setawar kehidupannya belakangan ini. Tawar.
            Kintan memandangi Rani. “Ran, mau ku antar nggak?” “Nggak usah, Kakin. Aku bisa berangkat sendiri.”
            Jam 12 tepat, bel sekolah Rani berbunyi. Menunjukan pelajaran hari ini telah usai. Ia langsung cepat-cepat pulang. Rani sekarang jarang bermain dengan temannya. Karena hobi barunya ; mengurung diri dikamar.
            Rani menyusuri jalan setapak menuju rumahnya. Sesampainya di ujung gang, ia melihat Ibunya diantar pulang oleh lelaki yang menaiki mobil Jazz merah. Dan, ya, lelaki itu adalah Dhino yang tak lain adalah pacar Kintan. Setelah turun dari mobil, Dhino mengecup hangat Ibu pacarnya sendiri. “Lelaki brengsek!” Kata Rani dalam hati.
            Rani berlari menuju kamar Kintan. Ia baru akan bercerita, namun Kintan sudah menangis sambil berteriak-teriak. Kintan sudah mengerti semuanya. Dhino yang selama ini disayanginya, bermain api dibelakang Kintan. Parahnya lagi, Dhino selingkuh dengan Ibu pacarnya sendiri. Bayangkan bagaimana hancurnya hati Kintan. Rani memeluk kakaknya erat-erat, sambil menangis juga. Mereka berdua sama sekali tidak menduga semua ini terjadi. Dhino yang berjanji akan secepatnya bertunangan, semua harapan Kintan sudah hancur. Serpihan hatinya bererakan dimana-mana. Seolah ototnya sedang dilucuti. Bibirnya beku.
             Rani tidak kuat dengan semua ini. Ia menuju kamarnya, lalu menutup pintu. Ia berpikir mengapa hidupnya tak seberuntung ini. Hidupnya rumit, tak ada secuil kebahagian keluarga yang ia dapatkan. Dilihatnya tali di meja belajarnya. Semua rasa sudah tidak terbendung lagi. Ia menulis semua uneg unegnya disebuah kertas sambil membiarkan airmata nya berjatuhan ke atas kertas. Sayangnya iblis telah menggoda hati Rani. Dengan sekuat tenaga ia menali lehernya diatas dinding kamar. Menggantung seluruh harapannya di dunia.
 Badannya sudah terlanjur dingin.
***
            Penyesalan sudah tak ada artinya lagi saat pagi itu Ayah, Ibu dan Kakaknya menemukan Rani yang sudah tak bernyawa tergantung dengan tali di lehernya, meninggalkan sepucuk surat diatas ranjang kusutnya. Semua itu sudah terjadi. Secepat itu, sepahit itu.

END

Translate to your language!