Hallo! My name is Nadia and welcome to my new blog (yasss im newbie:3). This is my very first post. Tbh, i don't know what thing that i should post here. But, yea, i want to share my first short story entitled "Terlanjur Dingin". Sorry if the story isn't good enough, because i don't have even passion in writing!! Wkwk. So, enjoy it! Don't forget to share yaaaa. Wait for my next post <3
Terlanjur
Dingin
Ia kembali terduduk di atas
ranjangnya. Suara yang sudah menjadi ‘makanan pokok’ gadis berusia 14 tahun itu
mungkin terdengar sampai rumah tetangganya. Bagaimana tidak, ayah dan ibunya
selalu beragumentasi tentang siapa yang salah dan siapa yang benar. Tak
memperdulikan kedua anaknya yang sedari tadi mendengarkan dan merekam kata demi
kata kasar di dalam ingatan mereka.
Rani adalah anak yang
sangat periang dan semua temannya tau itu. Disekolah ia tidak pernah menunjukan
wajah tak ceria. Gadis yang pandai bergaul ini juga selalu mendapat peringkat
satu parallel di sekolahnya. Akhir-akhir ini, kedua orangtua Rani tidak akur.
Selalu berbeda pendapat, dan mirisnya ia selalu menjadi mediator ayah ibunya
tentang siapa yang menafkahi Rani dan Kintan kakaknya.
Tak ada yang tau.
Dibalik keceriaannya, ada sakit yang harus disembunyikan. Ada lara yang harus
ditanggungnya sendirian.
***
“Ran,
kakak pergi dulu ya” “Iya kakin. Hati-hati ya.” Jawab Rani sambil mengantar
kakak satu-satunya keluar rumah menuju mobil Jazz warna merah itu.”Hai Kak
Dhino.” Tangan mungil Rani melambai kea rah Dhino, dibalas dengan senyum ramah
Dhino. Dalam sekejap, mobilnya sudah lenyap dari hadapan Rani.
Wanita –yang mempunyai panggilan akrab Kakin- yang terpaut 10 tahun dari Rani memang sudah lama berpacaran dengan Dhino,
teman kuliahnya dengan jurusan yang sama yaitu DKV (Desain Komunikasi Visual).
Pantas saja Kintan pergi dengan Dhino. Malam ini adalah malam minggu. Mungkin
sudah menjadi rutinitas mereka berdua, Candle
Light Dinner di rooftop salah satu apartement di kota ini. Dhino sudah
mempersiapkan semuanya, mulai dari booking tempat sampai apa saja yang dipesan.
Dhino hafal detail-detail makanan yang disukai Kintan. Mereka sudah berencana
akan bertunangan 3 bulan lagi.
“Makan
roti lagi, Pa?” Tanya Rani kepada ayahnya ketika ia mulai bosan melihat roti
diatas meja makan beberapa malam terakhir. Ini semua karena ibunya yang selalu
pulang malam yang entah pergi kemana, tak pernah jelas. “Sabar ya, Nak. Sampai
pagi kita kelaparan juga ibumu tidak akan pulang.” Jawabnya sinis. Ayahnya
sudah geram karena tingkah ibunya yang semakin hari semakin kejam.
Rani
kembali ke kamar tanpa berkata apapun. Ia memandangi foto keluarganya 3 tahun
lalu. Lengkap. Ceria. Dan penuh kasih sayang. Namun waktu berlalu, merubah
kehangatan keluarga itu. Tanpa disadari, airmatanya membasahi kaca figura
potret kemesraan mereka. Rani tampak pasrah tak bertenaga. Hari hari yang
berlalu tidak seperti dulu.
Keluarganya
dulu tenang tak bermasalah dan selalu harmonis. Tapi semua berubah saat ayahnya
turun pangkat dari kantor. Ibunya mendadak down
karena perubahan ekonomi keluarga yang kian menurun. Ibunya lebih sering
keluar daripada di rumah.
***
“Darimana
saja kamu semalam? Istri kurang ajar. Apa kamu tidak memikirkan anak anak mu?
Mereka tidak makan tadi malam. Aku sudah bersusah payah bekerja, tapi kamu
menghambur-hamburkan uang dengan cara tidak jelas seperti itu.”
Bentakan
ayahnya seolah menjadi alarm Rani untuk bangun pagi. “Hmmmm, berantem lagi.
Sudah kuduga akan seperti ini.” Ia bergumam selagi membereskan kasur dan menuju
kamar mandi.
Setengah
jam kemudian, Rani menuruni tangga kebawah menuju meja makan. Masih sama.
“Eheemmmmmmm” Rani memecah suasana tegang. Kedua orangtuanya yang saling caci
maki berubah seolah tak ada yang terjadi. Tapi semua itu drama. Palsu. “Aku
muak dengan semua ini. Sudahlah. Masih beruntung aku tidak depresi karena
kalian.” Digebraknya meja sambil keluar rumah, tanpa berkata apapun ia
berangkat kesekolah. Kejadian seperti ini membuat Rani tidak fokus mengikuti
pelajaran.
Rani
menjadi anak pemurung dan gampang tersulut emosi. Bahkan guru matematika Rani
–Pak Arga- pernah memergokinya melamun saat pelajaran berlangsung. Rani sudah
berubah, tidak seperti Rani yang dulu.
***
“Anak
bapak mengalami penurunan drastis sebulan belakangan. Ada masalah apa
sebenarnya, Pak?” Ayah Rani diam membisu mendengar kata guru wali kelas Rani.
Ia tak mempercayainya, sekaligus merasa bersalah. Ini semua disebabkan kedua
orang tuanya sendiri. Yang hampir setiap hari selalu bertengkar, tak pernah ada
ujungnya.
Ayah
Rani pulang kerumah dengan sejuta perasaan. Ia tak menyangka, Rani benar-benar depresi.
Rani lebih banyak menghabiskan waktu di kamar. Matanya selalu sembab, rambutnya
acak acakan, dan terlihat lebih kurus. Melihat hal ini Kintan selalu memaksa
Rani untuk membuka pintu kamarnya. Namun hasilnya nihil, Rani tak mau membuka
pintunya untuk siapapun. Bahkan Kintan. Kintan mencurahkan semua ini kepada
Ibunya. Ibunya cuek, mendengarkannya pun seolah Rani bukan siapa-siapanya.
Miris.
***
Usaha
Kintan akhirnya membuahkan hasil. Hari ini Rani berangkat sekolah. Pemandangan
yang jarang terjadi pagi ini. Ayah, ibu, serta Kintan dan Rani duduk bersama di
ruang makan. Tapi tetap saja berbeda. Ibunya yang sibuk mengoleskan bedak tabur
kewajahnya. Sementara ayahnya fokus membaca koran. Hening, tidak ada percakapan
antara mereka berempat. Rani mengoleskan selai coklat ke roti tawarnya. Yang
setawar kehidupannya belakangan ini. Tawar.
Kintan
memandangi Rani. “Ran, mau ku antar nggak?” “Nggak usah, Kakin. Aku bisa
berangkat sendiri.”
Jam
12 tepat, bel sekolah Rani berbunyi. Menunjukan pelajaran hari ini telah usai.
Ia langsung cepat-cepat pulang. Rani sekarang jarang bermain dengan temannya.
Karena hobi barunya ; mengurung diri dikamar.
Rani
menyusuri jalan setapak menuju rumahnya. Sesampainya di ujung gang, ia melihat
Ibunya diantar pulang oleh lelaki yang menaiki mobil Jazz merah. Dan, ya,
lelaki itu adalah Dhino yang tak lain adalah pacar Kintan. Setelah turun dari
mobil, Dhino mengecup hangat Ibu pacarnya sendiri. “Lelaki brengsek!” Kata Rani
dalam hati.
Rani
berlari menuju kamar Kintan. Ia baru akan bercerita, namun Kintan sudah
menangis sambil berteriak-teriak. Kintan sudah mengerti semuanya. Dhino yang
selama ini disayanginya, bermain api dibelakang Kintan. Parahnya lagi, Dhino
selingkuh dengan Ibu pacarnya sendiri. Bayangkan bagaimana hancurnya hati
Kintan. Rani memeluk kakaknya erat-erat, sambil menangis juga. Mereka berdua
sama sekali tidak menduga semua ini terjadi. Dhino yang berjanji akan
secepatnya bertunangan, semua harapan Kintan sudah hancur. Serpihan hatinya
bererakan dimana-mana. Seolah ototnya sedang dilucuti. Bibirnya beku.
Rani tidak kuat dengan semua ini. Ia menuju
kamarnya, lalu menutup pintu. Ia berpikir mengapa hidupnya tak seberuntung ini.
Hidupnya rumit, tak ada secuil kebahagian keluarga yang ia dapatkan. Dilihatnya
tali di meja belajarnya. Semua rasa sudah tidak terbendung lagi. Ia menulis
semua uneg unegnya disebuah kertas sambil membiarkan airmata nya berjatuhan ke
atas kertas. Sayangnya iblis telah menggoda hati Rani. Dengan sekuat tenaga ia
menali lehernya diatas dinding kamar. Menggantung seluruh harapannya di dunia.
Badannya sudah terlanjur dingin.
***
Penyesalan
sudah tak ada artinya lagi saat pagi itu Ayah, Ibu dan Kakaknya menemukan Rani
yang sudah tak bernyawa tergantung dengan tali di lehernya, meninggalkan
sepucuk surat diatas ranjang kusutnya. Semua itu sudah terjadi. Secepat itu,
sepahit itu.
END